on vacation
sosio-culture
Misteri Tujuh Rumah Butta Toa: Terbakarnya Rumah Kedelapan
8:52 PM
13 Maret 2013
Oleh Chandra KartikaPapan informasi yang terletak di gerbang masuk Butta Toa. Foto oleh Ridwan Amin |
Amir Selle (53 tahun), pemangku adat yang dikenal dengan gelar Gallarrang keenam, mengatakan bahwa sekitar lebih dari 400 tahun lalu, rumah adat di Butta Toa didirikan, tidak diketahui oleh siapa. Rumah tersebut telah diwariskan secara turun menurun hingga keturunan ketujuh, yaitu Amir Selle dan keluarga. Dikisahkan bahwa dahulu rumah di Butta Toa berjumlah 7 buah. Semua rumah menghadap ke timur yang berarti penghormatan terhadap matahari sebagai pembawa kehidupan di dunia ini. Suatu hari, ketika ada rumah baru dibangun yang biasa disebut rumah kedelapan, rumah tersebut terbakar. Hal tersebut terus berlangsung setiap ada rumah baru atau kedelapan didirikan sehingga dikenal dengan mitos tujuh rumah.
Mitos tersebut berakhir sekitar tahun 1965 ketika terjadi kebakaran rumah kedelapan yang terakhir. Karena laju pertambahan penduduk yang terus meningkat dan kepercayaan terhadap Allah SWT yang kuat, akhirnya rumah di Butta Toa terus bertambah puluhan hingga kini. Pada tahun 1971 terjadi peristiwa naas yaitu terbakarnya 4 rumah di Butta Toa akibat lampu temple (semacam pelita), yaitu Balla Tinggia, Nyalang, Coleng, dan Bajini. Hal ini disebabkan oleh kelalaian penghuni di Balla Tinggia, salah satu nama rumah adat yang terbakar, yang tidak sengaja menyenggol lampu tempel tersebut ke kain dan api mulai membesar sehingga merembet ke rumah di sekitarnya. Walaupun pada masa itu jarak antara rumah berjauhan, namun karena langkanya sumber dan persediaan air maka kebakaran besar tidak dapat dihindari.
Masyarakat memutuskan untuk menjaga Balla Jambu dan Balla Lompoa dari kepungan api. Rumah Balla Bongki yang terletak jauh di Barat atau di belakang Balla Lompoa sebelumnya sudah hilang lebih dahulu, baik penghuni dan rumahnya. Hal ini yang menjadi misteri hingga kini. Oleh karena itu, saat ini hanya tersisa dua rumah adat yang berusia ratusan tahun. Balla Jambu merupakan kediaman Karaeng, 'Raja', dan Balla Lompoa merupakan rumah penyimpan benda pusaka, yaitu parang, tombak, dan tameng. Keduanya merupakan pemangku adat tertinggi dalam “Adat Sampulonrua (12 adat)”.
Menurut M. Said,
pemegang gelar Batangpa’ Jeko (pembantu
bidang perdata dan musim)
dalam adat Sampulonrua, pada tahun
1973 diadakan lomba desa. Hal ini menyebabkan perubahan dalam arsitektur rumah
yang semula semua menghadap timur kemudian menghadap ke lapangan utama Butta
Toa. Saat ini, masih ada beberapa rumah yang tetap terjaga keasliannya dan masyarakat masih menjunjung tinggi warisan dari leluhurnya. Seiring perkembangan zaman, pemukiman di Butta Toa semakin bertambah, tetapi pemukiman yang terletak agak ke bawah atau bukan di sekitar lapangan utama yang masih menghadap ke timur. Jadi, jika kamu berkunjung ke Butta Toa, kamu akan lihat tata letak pemukiman dan rumah yang begitu dijaga kelestariannya. Alangkah senangnya, jika pemukiman yang begitu asri dan menjaga tata letak yang apik ini bisa ditiru masyarakat perkotaan.
Pemandangan di depan Rumah Adat Balla Lompoa. Foto oleh Ismi Yuliati
Malino, Maret 2013
Editing foto oleh Chandra Kartika
|